Sunday, February 12, 2017

Apalah Jadinya

Apalah jadinya
jika kau sudah terapung
di bantaran sungai itu hidupmu menggantung
berkecimpung dalam sampah dan air kotor sungai ciliwung,
lalu,
ada yang ingin membuatkan rumah apung
padahal undang-undang tidak mendukung
hanya ingin cari suara banyak dengan menikung

Apalah jadinya
jika logikamu dipermainkan
bilang tidak menggusur tapi hanya bohongan
mencari tanah kosong untuk memindahkan
ribuan orang yang tinggal di bantaran

Apalah jadinya
jika menggeser tidak sama dengan menggusur
vertical housing tidak sama dengan rumah susun
daripada membuat istilah baru dari kata gusur
mending jujur saja kalau kau tetap menggusur
sebab begitulah baiknya menurut undang-undang leluhur

Apalah jadinya
jika kau lebih senang ikan daripada kailnya
lebih suka lapar setelah habis ikannya
lebih suka uang daripada biaya pendidikan
lebih suka berandai-andai yang menyenangkan
dapat santunan ratus ribuan
itupun kalau tak berkurang di tengah jalan
maklum, tikus masih suka seliweran
dan hidupmu tidak ada peningkatan
setelah lima tahun kau mulai kelaparan
generasi pengemis semakin berkembang

Apalah jadinya
jika mulutmu tak bisa diatur
menghina orang di depan umum namanya ngawur
tidak mengerti ajaran leluhur
bicara sopan dan budi pekerti luhur
meski,
ku tahu kelakuanmu itu jujur
ku tahu program kerjamu itu unggul
namun, kamu harus tahu
mulutmu dapat memenjarakanmu
dapat memecah belah dari yang satu
membakar arang di dalam tungku

Apalah jadinya
jika kesantunanmu sudah melekat di jiwa raga
biacara sopan menyejukkan suasana
namun semua hanya sebuah teori dan retorika
menawarkan bahagia yang tak dapat dinyatakan dalam angka
seolah mebual belaka
berandai-andai buka lapangan kerja
menjawab semua tema hanya dengan satu kalimat sama
"Lapangan kerja, lapangan kerja."
Oh semudah itukah kau mengira
orang usaha butuh logika
maka sekolah yang benar dahulu baru bekerja

Apalah jadinya
jika kesantunanmu memainkan logika
janjikan beli rumah tanpa uang muka
emang ada?
cicilan bisa diangsur tiga puluh tahunan
padahal tidak sesuai dengan peraturan
lalu, lagi-lagi kau bermain kata-kata
seolah indah menawarkan bahagia
pada akhirnya tidak ada itu tanpa uang muka
nabung dahulu selama enam bulan sebagai uang muka
begitulah kira-kira definisi tanpa uang muka
yang lagi-lagi teori belaka.
Ah payah, kesantunanmu seolah sirna
hanya sebuah bungkus program khayalan
hanya untuk menarik banyak simpatisan
padahal tak mungkin jadi kenyataan

Apalah jadinya
jika kami tak sebodoh dahulu
tak segampang itu termakan bujuk rayumu
tapi kami akan tetap memilih
di antara semua yang buruk
tentu ada yang terbaik
damailah negeriku
damailah bangsaku.


Jakarta, 12 Februari 2017 (ditulis sebagai bentuk keresahan Pilkada DKI Jakarta 2017)

1 comments:

Emiria Letfiani said...

Oh man! Ini bagus sekali. Sebuah jeritan yang mewakili ribuan hati

Post a Comment

© 2009 - Galeri Puisi, All Rights Reserved.

Designed by Galeri Puisi