Hidup jangan hanya menonton
Sudah begitu, monoton
Jangan sampai jadi bloon
Sebab hidup seharusnya move on
Jakarta, 25 September 2020
Hidup jangan hanya menonton
Sudah begitu, monoton
Jangan sampai jadi bloon
Sebab hidup seharusnya move on
Jakarta, 25 September 2020
Ketekunan itu seperti air
Di udara terhempas angin
Di lautan terombang-ambing
Tetapi meskipun hanya tetesan kecil
Jika terus-menerus, batu yang keras sekalipun lapuk olehnya.
Ketekunan itu seperti waktu
Kian hari kian bertambah
Tidak pernah berkurang atau berjalan mundur
Melangkah maju, meski hari ini tidak membuahkan hasil
Meski hari ini terlalu banyak kegagalan
Ketekunan itu seperti mendaki gunung
Berat dan susah ketika mendaki
Hanya sebentar mampir di puncak
Dan lalu turun lagi
Gunung apa lagi yang akan kau daki?
Jakarta, 24 September 2020
Di saat dunia sedang dilanda bencana,
telah banyak nyawa terenggut olehnya.
Lalu tuan seenaknya saja,
cuan, cuan, dan cuan, masih jadi topik utama.
Dan masih,
banyak yang bersorak gembira mendukung anda.
Hmmm,
harus kubuktikan dengan apa lagi supaya mereka melihat kecacatan moral itu?
Aku sudah tak bisa merasa,
haruskah aku menyesal atau sedih atau kesal atau bahkan bahagia,
semua itu tak akan mengubah dirimu yang bertahta tapi tak berkuasa.
Amarahmu hanya tipu daya belaka,
hanya cukup sebagai bensin media,
bukan sebuah kerja, kerja, kerja yang nyata.
Nyatanya kita terbuai oleh kata, bukan bukti nyata.
Ah sudahlah,
kubur saja khayalanmu,
tentang menyalip di tikungan dan melesat maju,
itu hanya bunga tidur yang kau igaukan.
Kau terlalu sering mengigau dan kami sering berbunga-bunga.
Kita, tak ada beda, masih dalam harmoni yang sama.
Jakarta, 19 September 2020
Kekasih,
Jika kamu rindu
Kamu jangan menyerah
Jika kamu sedih
Kamu jangan menangis
Sebab, aku masih di sini untukmu
Dan hanya untukmu
Jakarta, 04 September 2020
Wahai negeriku yang agraris.
Seharusnya kau mulai menangis.
Sebab takut, lapar akan melanda tragis.
Negeri yang subur.
Tanahnya mudah ditandur.
Kini lambat laun meradang gersang.
Sawahmu hilang,
ditelan oleh zaman.
Digantikan tembok-tembok properti,
membatukan sawah, menyuburkan perumahan.
Kini,
di negeri tercinta ini.
Bisnis rumah telah menggantikan produksi beras.
Kisah petani sudah lama tergilas.
Sapi dan kerbau pun tak lagi membajak sawah,
sebab besi dan beton telah membajaknya.
Lucunya,
Pemerintah seperti linglung.
Membiarkan bisnis properti mendulang untung.
Merampas lahan petani dengan iming-iming uang.
Lalu, mencetak sawah baru katanya peluang.
Hanya saja,
Bukan untuk petani,
melainkan ladang uang bagi pemilik modal.
Negeriku, memang suka dagelan.
Jakarta, 18 Agustus 2020
Waktu
Adalah penjara abadi
Yang tak pernah kita sadari
Menahan wujud kita dalam dimensi searah
Memaksa kita menuju ke titik berikutnya
Dimana mustahil untuk kembali ke titik sebelumnya
Waktu
Mencegah kita mengintip hari esok
Mencegah kita mengacaukan masa lalu
Mengurung kita sekarang
Entah dalam penyesalan
Atau rencana-rencana khayalan
Wahai Tuan Waktu
Kami berserah padamu
Jakarta, 31 Mei 2020
© 2009 - Galeri Puisi, All Rights Reserved.
Designed by Galeri Puisi